Minggu, 30 Agustus 2009

Pesiar ke Posokan: Melelahkan Tapi Menyenangkan

Tanggal 7 Juni 2009 lalu, saya bersama Rikson, Green, dan Andre mendapat undangan dari mahasiswa Angkatan 2005 Fakultas Teologi UKIT untuk bersama-sama dalam kegiatan pelayanan mereka di Kel. Posokan Kec. Lembe Utara - Kota Bitung. Inilah perjalanan kami ke Kelurahan yang langsung berhadapan dengan laut lepas itu. Melelahkan namun sangat menyenangkan.

Naik perahu dari Dermaga Kecil "Ruko" Kota Bitung menuju ke Dermaga Kel. Batukota. Perjalanan dari Dermaga "Ruko" ke Batukota ditempuh sekitar 15-20 menit.











Tiba di dermaga kel. Batu Kota. Dermaganya kecil, hanya khusus untuk perahu-perahu sebagai alat transportasi warga di sana menuju Kota Bitung.









Jalan kaki menuju ke Kel. Posokan melawati kel. Woka. Jarak antara Kel. Batukota dengan Kel. Woka sebenarnya hanya berkisar 2 km, tapi jalanya sangat menanjak.








Istirahat sejenak di "Sabua" yang biasa menjadi tempat mangkal ojek. Semua kelelahan, setelah melewati jalan yang sangat menanjak.











Setelah beristirahat sejenak, perjalananpun dilanjutkan. Ada energi baru untuk melanjutkan perjalanan di siang bolong, yang panas.












Antara Kel. Woka dengan Kel.Posokan, yang menjadi tujuan kami, jalanya menanjak dan menurun. Jalan ini hanya khusus pejalan kaki, kendaraan bermotor tidak bisa melewati jalan ini.










Akhirnya, sampai juga di Kel. Posokan. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan.














Dan, inilah keindahan Kel. Posokan itu. Masyarakatnya ramah, makanannya khas, anak-anaknya cinta budaya.






Dan, inilah para mahasiswa/i angkatan 2005 Fakultas Teologi UKIT





Ketika hari sudah sore, waktunya untuk pulang. Sekarang tidak lagi jalan kaki, tapi naik perahu sampai di "Ruko" Bitung hari sudah malam.

(Naskah Denni. Foto: Green)

Sate Babi



Inilah salah satu makanan khas Minahasa, Sate Babi. Bahan-bahannya terdiri dari daging babi, jeruk ikan, kecap, cabe, garam dan tusuk-tusuk sate.

Kain Tenun Bentenan: Dari Desa Bentenan Sampai ke WOC

Roger Danuarta, artis sekaligus pemain sinetron itu tampak menikmati betul baju yang bermotif khas etnik yang sedang menutupi badannya. Tampak lebih tampan Roger memakai baju itu. “Pokoknya enjoy, deh,’’ ujar Roger singkat kepada wartawan.


Anda rasanya perlu tahu bahwa baju yang dipakai oleh Roger itu terbuat dari kain Tenun Bentenan. Lebih menarik lagi, Roger memakai yang bermotif edisi khusus dalam rangka World Ocean Conference (WOC). Penampilan Roger itu terlihat ketika dia mengunjungi Bentenan Center di desa Kolongan Sonder, 1 Mei lalu. Dia juga sempat ke Kawangkoan untuk makan biapong khas di sana.


Kain Tenun Bentenan memang sedang naik daun. Dulu, yang kebanyakan orang kenal hanya batik. Tapi kini, kain tenun Bentenan juga mulai menjadi primadona di tingkat nasional. Bahkan, waktu penyelenggaraan WOC dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit 2009 pada tanggal 11 hingga 14 Mei lalu, baju dari kain tenun Bentenan juga menjadi perhatian para tamu. “Bahkan ada kain Bentenan motif ikan coelacanth dan kekayaan laut Bunaken yang dipersiapkan khusus untuk ajang internasional itu,” ujar Ketua Umum Yayasan Karema Ny. On Markadi Tambuwun. Yayasan Karema yang berkantor di Desa Kolongan Sonder ini adalah lembaga yang berupaya untuk melestarikan salah satu kekayaan budaya Minahasa.


Kain Bentenan bukan saja untuk keindahan berpakaian. Kain ini juga bisa untuk lebih mendekatkan hubungan pertemanan atau persahabatan. Sehingga, kini banyak yang juga menjadikannya sebagai oleh-oleh untuk sahabat atau saudara yang datang ke Sulawesi Utara. “Kini kekhawatiran sejumlah orang soal kurangnya oleh-oleh khas ’Nyiur Melambai’ tak perlu ada lagi. Kain Bentenan telah menambah deretan souvenir asli Sulawesi Utara yang layak disejajarkan dengan kain tenun dari Lombok, Bugis, Batik, dan daerah lain,” begitu potongan ulasan sebuah situs yang memuat tulisan tentang kain Bentenan ini.


Hingga sekarang ini Yayasan Karema telah berhasil mengkreasikan produk tenunan kain Bentenan bermotif Kaiwu Patola, Tinonton Mata, Lengkey Wanua, dan Pinatikan. Motif-motif ini mewakili suku-suku yang ada di Minahasa. Motif-motif lain yang dihidupkan kembali oleh Yayasan Karema adalah Pinatikan Bantik, Koffo Sangihe Talaud dan motif Sinoi.


Kain Tenun Bentenan asli sangat mahal harganya. Sehingga yayasan ini juga telah memproduksi kain Bentenan dalam bentuk print. Harganya tidak semahal kain tenun Bentenan asli. Tapi bila dipandang sepintas keindahannya tidak jauh berbeda dengan yang asli. Banyak orang suka yang memakainya. Lantaran, kain tenun Bentenan print juga memiliki kekhasannya sendiri. Lembut dan bermotif keindahan alam yang khas di Sulut.

Dari beberapa informasi yang berhasil dirangkum Inspirator, disebutkan kain Bentenan aslinya memang dari Minahasa. Nama jenis kain tenunan ini diambil dari sebuah desa Bentenan yang terletak di pantai timur Minahasa. Di desa inilah menurut sejarah kain tenun ini ditemukan. Ironisnya, di desa Bentenan tinggal satu dua orang yang memproduksinya. Mereka, bahkan bukan lagi sebagai pemegang hak paten.


Aslinya ada tujuh macam tenun Bentenan. Yaitu Tonilama, tenunan tanpa motif berwarna putih, Sinoi tenun dengan benang berwarna-warni dan bergaris, Pinatikan yaitu tenun tergaris, bermotif jala dan bentuk seni enam, Tinompak Kuda, tenun dengan aneka motif berulang, Tinonton Mata tenun dengan hiasan motif manusia, Kaiwu Patola tenun dengan motif geometris seperti patola dari India, dan Kokera tenun dengan motif bunga-bunga bersulam manik-manik.


Beberapa catatan menyebutkan, kain tenun Bentenan telah mulai dibuat sekitar abad ke-7. Ceritanya, waktu itu telah ada tradisi membuat busana dengan menggunakan bahan-bahan dari serat kulit kayu yang disebut fuya, diambil dari pohon Lahendong dan pohon Sawukouw, Nenas serta Pisang, yang disebut koffo dan serat Bambu disebut wa'u.


Nanti sekitar abad ke-15, orang Minahasa mulai menenun dengan benang katun dan hasil tenunan inilah yang dinamakan Kain Tenun Bentenan. Dari Desa Bentenan yang terletak di Pantai Timur Minahasa Selatan inilah, kain tenun Bentenan pertama dibuat. Ditemukan dan terakhir ditenun di daerah Ratahan pada tahun 1900.


Kain Tenun Bentenan memiliki keunikan dalam pembuatannya. Penenun terbiasa membuat satu rol atau 32 lembar tanpa putus, untuk memisahkan tiap lembarnya ada jarak kosong beberapa centi sebagai batas untuk memotong kain menjadi lembaran yang berukuran sekitar 2,80 m X 1,20 m. Keunikan lainnya, penenun juga selalu menggambar motif pada hamparan benang yang akan ditenun. Dibutuhkan waktu sampai sebulan untuk menyelesaikan 1 rol kain tenun Bentenan. Reproduksi kain Tenun Bentenan ini tentu saja mendapat respons yang positif dari berbagai kalangan, bahkan beberapa pejabat negara termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah mengenakan baju Tenun Bentenan ketika menghadiri acara di Manado.


Kain Bentenan yang asli bisa dilihat di Museum Nasional, Jakarta, Museum Tropenmuseum, Amsterdam, Museum voor Land-en Volkenkunde, Rotterdam, Museum fur Volkenkunde, Frankfurt-am-Main, Jerman, Ethnographical Museum, Dresden, dan Indonesisch Ethografisch Museum. (data dari berbagai sumber/foto-foto: Greenhil Weol). tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Inspirator Edisi Juni 2009.